BEBERAPA waktu lalu muncul sebuah pemberitaan, Mabes
Polri akan menarik 20 penyidiknya yang berada di Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Kabar tersebut semakin menimbulkan beragam pertanyaan
tentang friksi apakah yang sebenarnya sedang terjadi di antara kedua
instansi penegak hukum ini. Apalagi, keputusan yang dikeluarkan Mabes
Polri tersebut terjadi bertepatan ketika KPK dan Polri masih berselisih
paham mengenai siapa sebenarnya yang berwenang untuk menyidik para
tersangka dalam kasus korupsi pengadaan simulator SIM di Korlantas
Polri. Ketua KPK Abraham Samad pun sempat menyayangkan penarikan para
penyidik KPK yang berasal dari kepolisian karena dikhawatirkan secara
tidak langsung akan mengganggu beberapa proses penyidikan kasus-kasus
korupsi yang saat ini sedang ditangani KPK.
Peristiwa
penarikan belasan penyidik kepolisian dari KPK menurut penulis bukanlah
suatu petaka bagi KPK tetapi sebuah momentum emas yang harus
dimanfaatkan oleh KPK untuk mulai merekrut para pendekar-pendekar hukum
dari kalangan masyarakat umum (baca:independen). Dari peristiwa
tersebut sebenarnya jelas terlihat jika lembaga superbodi yang sering
dianalogikan sebagai cicak ini memang sudah saatnya perlahan-lahan
mengurangi ketergantungannya dari peran penyidik kepolisian maupun
kejaksaan.
Sebenarnya jika ditelusuri lebih jauh, agaknya
banyak sekali keuntungan yang akan didapat oleh KPK jika mulai sekarang
merekrut para penyidik independen yang berasal dari internal KPK,
praktisi hukum, ataupun para mahasiswa Fakultas Hukum di Indonesia.
Keuntungan pertama, penyidik independen akan mengurangi kekhawatiran
masyarakat tentang independensi KPK dalam penyidikan kasus korupsi
dengan tersangka dari kalangan kepolisian ataupun kejaksaan. Konflik
kepentingan dan solidaritas sesama korps pun akan sirna. Kedua, dengan
merekrut penyidik independen, tentunya KPK memberi kesempatan kepada
para lulusan Fakultas Hukum yang ada di seantero negeri ini untuk
mengimplementasikan ilmu hukum yang dimilikinya secara formil dan
materiil ke dalam sebuah lembaga penegakan hukum. Selain itu, faktor
lainnya yang mendukung dan menjadi nilai tambah adalah mayoritas para
fresh graduate masih mempunyai jiwa-jiwa idealis dengan disertai etos
kerja yang tinggi khas anak muda. Tentunya hal ini akan sangat membantu
KPK dalam misi pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Terakhir,
keuntungan yang dapat diperoleh KPK andai memakai tenaga penyidik
independen adalah asa KPK untuk mencapai jumlah penyidik yang ideal akan
dapat terealisasi. Mustahil memang jika ingin mencapai keidealan jumlah
penyidik, KPK harus terus meminta tambahan penyidik dari kepolisian
ataupun kejaksaan karena pastinya permintaan itu akan mengganggu kinerja
dari kedua lembaga penegak hukum tersebut.
Memang banyak suara
minor yang muncul ketika KPK akan merekrut penyidik independen karena
hal itu dirasa akan memakan waktu lama dalam membentuk para calon
penyidik tersebut ke jenjang penyidik profesional. Tetapi hal tersebut
dapat diatasi dengan menyekolahkan para calon penyidik tersebut ke luar
negeri. Apalah ruginya kita menyekolahkan para fresh graduate
untuk belajar ke sekolah penyidikan di luar negeri asal nantinya
beberapa tahun kemudian mereka kembali ke Indonesia dengan membawa bekal
ilmu penyidikan yang baik dan mumpuni sehingga mampu membuat bulu kuduk
para koruptor merinding? Kalau saja dalam prosesnya terjadi masalah
klasik mengenai dari mana asal anggaran untuk menyekolahkan para calon
penyidik tersebut ke luar negeri, tentunya hal ini bukanlah suatu
halangan utama. Keberatankah pemerintah memberikan sepersekian dari APBN
untuk mendidik para calon penyidik tersebut? Bayangkan bila
dibandingkan dengan berapa banyak anggaran yang telah dikucurkan kepada
para anggota dewan untuk kunjungan kerja ke luar negeri yang mayoritas
hasilnya tidak jelas dan tidak berdampak signifikan terhadap kinerja
anggota dewan maupun amanat konstituennya. Apakah masih perlu rakyat
turun tangan untuk mengadakan gerakan semacam saweran untuk membantu
KPK? Sudah saatnya pemerintah memberi dana yang lebih kepada KPK, toh
rapor pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK lebih baik dari pada
instansi penegak hukum lain meskipun KPK baru berusia beberapa tahun.
Urgensi lainnya, perekrutan penyidik independen tentunya dapat menambah
komposisi penyidik di KPK yang saat ini hanya berjumlah sekira 100
orang. Padahal beban kerja KPK sangat kompleks dan arus yang menentang
eksistensi KPK pun sangat deras. Dapat kita bandingkan dengan KPK di
Hongkong yang mempunyai penyidik sekira 3.000 orang, tentu sangat jauh
perbedaannya. Patut dicermati juga, entah akibat ketersediaan penyidik
yang melimpah, kasus korupsi di Hongkong sejak KPK didirikan di sana
dapat secara efektif tereduksi. Hongkong kini berada di peringkat atas
(bersih) dalam pemberantasan kasus korupsi di kawasan Asia Pasifik.
Tidak inginkah kita belajar dari pengalaman negara tersebut dalam cara
menangani korupsi?
Pembenahan lain adalah dari segi regulasi
perekrutan penyidik KPK. Secepatnya regulasi yang menghambat perekrutan
penyidik independen harus segera dipinggirkan. Janganlah momentum untuk
perbaikan KPK terganjal dengan regulasi yang hanya didalilkan karena KPK
hanyalah lembaga Ad hoc, padahal menurut substansi UU no 30 tahun 2002
tentang KPK, jelas-jelas diamanatkan jika yang dimaksud dengan penyidik KPK adalah penyidik yang diangkat dan diberhentikan oleh pimpinan KPK. Hal ini dapat diartikan jika KPK sebenarnya dapat saja mengangkat penyidik sendiri di luar penyidik dari kepolisian.
Bagaimanapun juga, kebutuhan KPK akan penyidik independen agaknya sudah
semakin diperlukan. Tinggal sekarang bagaimana itikad pemerintah dalam
menyikapinya sebagai stakeholder dan DPR sebagai pembuat
undang-undang KPK, jika nantinya memang benar dibuka kesempatan untuk
penyidik independen hadir di KPK. Wajar saja penulis berkeyakinan jika
akan sangat tinggi animo para pemuda-pemudi Indonesia untuk menjadi
bagian dari KPK karena para “young guns” ini tentunya sangat
ingin menjadi bagian dari pelaku sejarah kemenangan bangsa ini melawan
raksasa keji yang bernama korupsi. Selain itu, penulis berkeyakinan jika
di bumi pertiwi sebenarnya masih banyak pemuda-pemudi yang
berkompetensi unggul, peduli akan pemberantasan korupsi dan berjiwa “rawe-rawe rantas malang-malang putung”dalam berperang melawan korupsi. Viva Justicia
Josua Dewa Gede Christian Hendra Putra
Staf Divisi Kajian dan Kebijakan Strategis Dewan Mahasiswa Justicia
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Sumber : OKEZONE.COM
Posting Komentar